Home Kolom High Trust Society: Cara Islam Membangun Modal Sosial

High Trust Society: Cara Islam Membangun Modal Sosial

0
Medina, Saudi Arabia - July 07, 2020: View of cloudy blue sky at Nabawi Mosque or Prophet Mosque in Medina, Saudi Arabia. Selective focus

Penulis : M. RIZWAN HAJI ALI

Masyarakat yang bisa bertransformasi adalah masyarakat yang punya modal sosial

Tidak banyak yang bisa diharapkan dari sebuah lingkungan sosial yang rapuh. Tingkat kecurigaan tinggi, rasa saling percaya rendah. Lingkungan ini hanya menghasilkan hasutan terhadap pihak lain sebagai tertuduh, tidak bisa diberikan kepercayaan. Oleh sebab itu harus dimata-matai.

Masyarakat yang rentan gesekan horizontal biasanya tumbuh dalam budaya saling curiga. Setiap tindakan satu pihak adalah agitasi bagi yang lainnya. Berkobarlah permusuhan tersembunyi, laten. Mengendap dalam patahan sosial yang menganga. Lalu diperluas oleh hoaks.

Dalam konteks masyarakat digital, patahan sosial tersebut dapat dilihat pada platform media sosial. Fenomena penghinaan, fitnah, hasutan, cacian, saling membongkar aib, dan berbagai bentuk “permusuhan” lainnya menggelegak bagai lahar panas dari gunung merapi.

Populernya peran “buzzer” jelas telah membentuk sebuah peran sosial baru berupa penyerangan terhadap yang dimusuhi dan pemujaan terhadap yang membayar. Peran ini sudah sedemikian mengental dalam politik Indonesia dalam bentuk “cebong” versus “kampret”.

Masyarakat terbentuk menjadi labirin perseteruan tanpa jalan keluar. Hal ini kemudian berujung kepada lumpuhnya pranata sosial sebagai katup pengaman dan perekat sosial supaya tidak terjadi konflik.

Kemampuan masyarakat untuk bertahan dari gempuran persoalan menjadi lemah karena terjebak dalam kecurigaan mendalam. Padahal untuk bisa bergerak dalam kemajuan, masyarakat harus memiliki modal sosial.

Modal Sosial dalam Islam

Konsep modal sosial dikaitkan utamanya dengan R Putnam dan Francis Fukuyama. Konsep ini dengan cepat menjadi sebuah perbincangan global karena modal merupakan sebuah khazanah utama untuk menciptakan kemajuan dan kemandirian, bukan hanya modal kapital.

Modal sosial berupa rasa saling percaya, kebersamaan, saling membantu satu satu sama lain. Dalam Islam, hal ini disebut sebagai kesalehan sosial yang merupakan implementasi dari konsep ta’awun, yaitu sikap saling menolong.

Dalam muamalah, sikap saling menolong ini ditunjukkan oleh berbagai model muamalah yang melarang riba, seperti dalam transaksi hutang piutang. Pemberi hutang tidak boleh mengambil manfaat dari hutang yang diberikannya karena landasan pemberian hutang adalah ta’awun, bukan mencari laba. Mencari laba sudah tersedia fitur lainnya yaitu jual beli. Itu pun jual beli yang tidak mengandung unsur penipuan di dalamnya.

Namun demikian, orang yang berhutang diharapkan oleh agama memberikan sesuatu sebagai hadiah kepada pemilik hutang jika dia rela saat membayar hutang. Tapi bukan bagian dari hutang. Itu adalah “ihsan fi al-mu’amalah”, berbuat kebaikan dalam transaksi muamalah. Tapi tidak wajib.

Jika kita telusuri, konsep modal sosial ini sangat dalam temuannya dalam ajaran Islam. Seorang muslim wajib menghadiri undangan kenduri perkawinan jika diundang, kecuali ada keuzuran. Seorang muslim wajib berbuat baik kepada jirannya. Wajib menjaga lidahnya tidak bergunjing, menghina, membuka aib, mencemarkan nama baik orang lain. Wajib mengeluarkan zakat, sunat berinfak, wajib membantu orang yang membutuhkan. Banyak sekali kewajiban sosial dalam Islam.

Muslim wajib berbuat baik kepada orang lain. Tidak boleh menyakiti dan memiliki kesabaran jika tersakiti. Aktif dalam kebaikan dan tidak boleh pasif dalam melihat kemungkaran yang mampu dicegahnya. Karena kemungkaran itu akan berujung kepada rusaknya pranata sosial yang harmonis.

Masyarakat Islam adalah masyarakat yang saling menghargai, menghormati dan melindungi. Masyarakat simbiotis, bukan masyarakat predatoris. Inilah yang menjadi modal sosial Islam, masyarakat yang menyediakan ruang bagi berbagai kebaikan dan menyekat kejahatan supaya muncul perlindungan terhadap kehidupan dan kemanusiaan.***

(Penulis adalah Dosen, Ketua PCNU Kota Lhokseumawe, Pemerhati Sosial)

Exit mobile version