26.2 C
Banda Aceh
BerandaKolomBudi Pekerti Ajarkan Yang Riuh Yang Menang

Budi Pekerti Ajarkan Yang Riuh Yang Menang

Penulis: Khairuddin, S.Pd, M.Pd

Minggu ini saya nonton felom bagus banget, inspiratif dari dua negara yang tingkat kemakmurannya kurang lebih, India dan Indonesia.

Film India yang sy tonton berjudul “12th Fail #restart”, sy akan cerita di tulisan berikut. Tulisan kali ini tentang felom Indonesia, berjudul “Budi Pekerti” atau “Andragogy”.

Lah itu judul felom kok kayak pelajaran di sekolah. Hampir tidak semangat pas lihat judul. Namun membaca sinopsis film ini, sekaligus banyak berita penayangan film ini di bioskop yang diapresiasi. Sekali lagi setelah nonton, film ini benar-benar memberi pelajaran.

Plot film ini sebenarnya bikin gemes, berimbang banget, manusiawi. Dalam kebenaran ada kekeliruan. Dalam kekeliruan yang dipandang orang ramai ternyata terselip kebenaran. Tidak ada pemenang dalam film ini. Tapi Quote-nya keren banget, “Dalam dunia netizen, pemenang adalah yang bersuara paling kencang”.

Film ini bercerita tentang guru Bimbingan Konseling (BK) di sebuah SMP. Ibu Prani Siswoyo namanya. Beliau cukup dekat dengan siswanya, simbol pendidikan karakter di sekolahnya. Beliau sendiri guru yang memiliki integritas. Bahkan beliau punya ambisi untuk menjadi wakil kepala bidang kesiswaan. Konflik pertama terjadi ketika bu Prani membeli kue tradisional milik mpok Rahayu yang sangat legend hingga harus antre.

Banyak antrean nomor besar mencari celah dengan menumpang beli pada antrean nomor kecil. Hingga puncaknya bu Prani memprotes seorang bapak-bapak yang melakukan tindakan tersebut. Perang mulut terjadi di pasar.

Mpok Rahayu menjadi sangat tidak enak, lalu meminta izin mendahulukan bu Prani. Justru sebagai orang berintegritas, bu Prani menolak. Puncaknya dia marah, menepis dan berlalu sambil berucap “Asu”. Sialnya tindakan bu Prani direkam khalayak dan menjadi viral.

Sebagai seorang guru yang menjadi teladan, kata “asu” di khalayak adalah umpatan yang sangat buruk. Bu Prani yang memiliki dua anak, aktivis sosmed mencoba membuat klarifikasi. Semakin diklarifikasi semakin naik “dosa-dosa” bu Prani dalam menangani siswa yang dia sebut Refleksi. Bu Prani emang unik, dia memberikan hukuman bagi siswa dalam bentuk aktivitas yang mendidik dan mengubah sikap siswa.

Siswa yang merokok, siswa yang membully, siswa yang berkelahi, hingga siswa yang tidak naik kelas, memperoleh tindakan dari bu Prani yang membuat mereka patuh. Itu diakui oleh ikatan alumni tempat bu Prani bekerja.

Hingga seorang siswa yang tidak berhenti berkelahi, direfleksi oleh bu Prani dengan bekerja sebagai penggali kubur di usia yang relatif muda, SMP. Siswa tersebut berubah, sadar bahwa kematian harusnya bukan dari konflik.

Namun sayangnya si siswa memiliki tabiat aneh di saat dia dewasa. Dia merindukan suasana kuburan, aroma bunga kamboja saat sedang suntuk atau bahkan tidur di kuburan untuk menenangkan diri. Sikap ini membuat dia harus ke psikiater berkonsultasi, apakah hal tersebut cukup normal baginya.

Siswa yang sebelumnya membela bu Prani dengan memposting video bahwa bu Prani sudah mengubah karakter beringasnya, justru dimanfaatkan oleh komunitas netizen untuk terus menyerang bu Prani.

Mereka membangun narasi bahwa kelakuan bu Prani mengganggu sekolah, mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Proses pendidikan karakter harusnya tidak seperti itu juga, kata netizen. Mereka riuh sekali, hingga beberapa psikolog pun memberikan komentar yang memberatkan bu Prani.

Dunia seolah mentok, bu Prani bukan hanya tidak mampu mewujudkan dirinya sebagai Wakasis, lebih dari itu, Yayasan sekolah tempat dia mengabdi tidak sedikitpun mencoba membela. Bahkan desakan netizen membuat yayasan ini memberi tindakan yang membuat gurunya tersebut tidak nyaman. Bu Prani takkan sudi minta maaf, menganggap tindakannya tidak keliru. Hingga beliau berhadapan pada situasi yang membuatnya harus angkat kaki.

Film ini nyata sekali, no viral no justice, namun terkadang keadilan juga sulit didapat karena kebenaran sesuai kecenderungan netizen.

Budi Pekerti mengantongi 17 nominasi di FFI 2023. Film ini tayang pada awal September 2023 di Toronto International Film Festival (TIFF), Toronto, Ontario, Kanada. Budi Pekerti juga sempat ”mampir” antara lain di SXSW Sydney 2023 Screen Festival. Saya rekomendasikan kalangan pendidik menonton film ini. [*]

Penulis adalah Kepala Sekolah di SMAN 1 Matang Kuli, Aceh Utara

Sponsor

explore more