Oleh: Nuriman, M.Ed, P.hD * I Editor: F. Saidina
Demokrasi dalam praktiknya sering kali beradaptasi dengan konteks budaya, sejarah, dan kondisi sosial masyarakat. Di Jepang, era Meiji (atau yang dikenal dengan istilah “Demokrasi ala Meiji”) menjadi tonggak reformasi modernisasi yang memadukan nilai tradisional dengan prinsip demokrasi Barat.
Dalam konteks Aceh, yang memiliki keunikan budaya, syariat Islam, dan sejarah politiknya sendiri, pendekatan ini memberikan perspektif menarik dalam memahami dinamika Pemilukada.
Demokrasi Meiji, Sebuah Inspirasi
Era Meiji memperlihatkan bagaimana demokrasi tidak harus meninggalkan tradisi. Jepang mengadopsi sistem parlementer dari Barat, tetapi tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional seperti kesetiaan kepada kaisar. Dalam prosesnya, mereka tidak serta-merta menggantikan tradisi, melainkan mensinergikannya dengan nilai modern untuk membangun sistem pemerintahan yang berkelanjutan.
Aceh, sebagai daerah yang menerapkan otonomi khusus, menghadapi tantangan serupa. Dengan akar syariat Islam yang kuat, pemilukada di Aceh membutuhkan pendekatan demokrasi yang menghormati nilai-nilai keislaman tanpa mengabaikan asas universal demokrasi seperti keterbukaan, keadilan, dan partisipasi publik.
Relevansi Dalam Pemilukada Aceh
Pemilukada Aceh sering kali menjadi sorotan karena karakteristiknya yang unik. Sistem politik di Aceh tidak hanya melibatkan partai nasional, tetapi juga partai lokal yang mencerminkan aspirasi daerah. Namun, sering terjadi gesekan antara kepentingan lokal dan nasional, atau antara adat dan modernitas. Pendekatan ala Meiji dapat menjadi model untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan global.
Contohnya, Aceh bisa menegaskan nilai-nilai Islam dan adatnya dalam proses pemilu, seperti mendorong pemimpin yang memiliki rekam jejak dalam memajukan syariat Islam secara adil dan inklusif. Ini mirip dengan cara Meiji menjaga nilai tradisional Jepang.
Pemerintah Aceh dapat mengambil inspirasi dari Meiji untuk memperkuat institusi lokal seperti majelis adat dan syariat, sehingga menjadi bagian integral dalam proses demokrasi. Hal ini akan menciptakan struktur yang menghormati tradisi tanpa mengesampingkan prinsip akuntabilitas.
Jepang pada era Meiji memprioritaskan pendidikan untuk mendukung reformasi, menginspirasi kita bahwa Aceh membutuhkan pendidikan politik yang mengedepankan harmoni antara nilai-nilai keislaman, adat, dan prinsip demokrasi. Dengan demikian, masyarakat harus diberikan ruang untuk memahami bagaimana Islam dan demokrasi dapat berjalan beriringan.
Pertanyaan berikutnya apakah ketidakpuasan hasil Pemilukada merupakan gejala demokrasi atau krisis kepercayaan?
Ketidakpuasan pasca pemilukada sering kali disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
proses perhitungan suara yang dianggap tidak transparan kerap menjadi pemicu ketidakpuasan. Dalam beberapa kasus, dugaan manipulasi data atau penggelembungan suara menjadi isu sentral. Disisi lain, muncul isu budaya politik transaksional dan janji-janji pragmatis masih mengakar, sehingga menciptakan kekecewaan di kalangan kandidat yang merasa tidak memiliki akses ke jaringan kekuasaan atau finansial yang kuat.
Era Meiji di Jepang menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya soal mekanisme pemilu, tetapi juga pembangunan kepercayaan publik terhadap sistem.
Demokrasi ala Meiji berhasil menavigasi transisi dari sistem feodal ke modern dengan mengedepankan prinsip harmoni sosial, penguatan institusi, dan edukasi politik. Prinsip-prinsip ini dapat diadaptasi ke konteks Aceh untuk mengatasi ketidakpuasan pasca pemilu.
Dalam konteks ini, Aceh dapat mencontoh Jepang yang menjadikan pendidikan sebagai kunci modernisasi. Pendidikan politik yang berbasis nilai Islam dan adat Aceh dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menerima hasil pemilu sebagai cerminan kehendak kolektif.
Meskipun begitu ketidakpuasan para kandidat pasca pemilu di Aceh adalah tantangan demokrasi yang harus ditangani dengan pendekatan yang komprehensif.
Inspirasi dari demokrasi ala Meiji dapat membantu Aceh menciptakan sistem yang menghormati tradisi lokal sekaligus mempromosikan transparansi dan akuntabilitas.
Dengan cara ini, Aceh tidak hanya mampu mengelola ketidakpuasan tetapi juga memperkuat fondasi demokrasi berbasis nilai Islam dan adat.
Sampai disini kita menyimpulkan bahwa demokrasi ala Meiji menawarkan pelajaran penting yang memadukan antara tradisi dan modernitas berjalan seiring untuk menciptakan sistem yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pendekatan ala Meiji dapat memberikan perspektif baru dalam menghadapi dan mengelola ketidakpuasan dengan mengintegrasikan tradisi lokal, nilai demokrasi, dan penguatan institusi.
Dalam konteks Pemilukada Aceh, pendekatan ini dapat menjadi jalan tengah yang menghormati identitas lokal sekaligus mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi universal. Dengan demikian, Aceh dapat menciptakan proses demokrasi yang tidak hanya inklusif, tetapi juga relevan dengan karakteristik daerah. []
*) Penulis Dosen pada FTIK IAIN Lhokseumawe.
Email: nuriman.abdul@gmail.com