Penulis: Dr. Tgk. M. Rizwan Haji Ali, MA*
Tradisi akademik dayah, pesantren, surau, pondok atau sebutan lainnya semakin terakui secara formal setelah lahirnya UU Nomor 18 tentang Pesantren tahun 2019. Pengakuan ini merupakan bentuk rekognisi negara terhadap eksistensi dan peran pesantren dalam perjuangan dan pembangunan bangsa.
Pada sisi keadilan, rekognisi tradisi akademik pesantren merupakan bagian dari penerapan prinsip cognitive justice atau keadilan kognitif. Keadilan kognitif adalah sebuah model keadilan yang memberikan pengakuan terhadap seluruh pengetahuan yang hidup dalam masyarakat. Tidak dapat diabaikan bahwa salah satu tradisi pengetahuan itu hidup dan berkembang di pesantren.
Tradisi pendidikan dayah memiliki landasan epistemologis yang kuat dan sahih. Tradisi berpikirnya adalah mantiqi, ushuli, bayani, dan bahkan irfani bagi sebagian kelompok yang menekuninya. Sudah cukup sering saya menyampaikan bahwa tradisi keilmuan pesantren setidaknya dapat diklasifikasi dalam tiga paradigma, yaitu filosofis, metodologis dan praktis.
Pada tataran filosofis rumpun keilmuan pesantren dapat terbagi kepada ilmu-ilmu ushuli baik itu ilmu ushuluddin maupun ushul fiqh. Dua landasan ini penting sebagai kontruksi keilmuan lainnya yang bertumbuh di atasnya. Tidak heran, Al-Ghazali pun mempersoalkan dan memurifikasi ilmu filsafat dari kemusyrikan dengan menggunakan landasan ushuluddin.
Karya beliau abadi hingga kini, Tahafuth al-Falasifah. Sehingga ilmu ushuluddin merupakan alat timbang teologis untuk menerima dan meluruskan pandangan filosof yang sebagiannya mengajukan tesis keliru tentang keqadiman alam.
Pada tataran metodologis, apa yang disebut sebagai ilmu alat yaitu nahwu, sharaf, bayan dan badi’ sebagai ilmu linguistik dengan logika dan kedalaman sastra yang tertanam kuat di dalamnya pun adalah ilmu metodologis yang mumpuni.
Apalagi ilmu mantiq yang memang diakui oleh umat Islam berakar pada kekuatan metodologis Aristotelian, yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan pesantren. Mantiq ini telah pun disesuaikan dan ditimbang dengan ilmu ushuluddin mana yang dapat diterima dan mana yang harus dibersihkan dari unsur kemusyrikan dan paganisme Yunani Kuno. Hal ini dapat dilihat dari silogisme populer “al-alam mutaghayyir”.
Pada tataran praktis, ilmu fiqh, akhlak, tauhid praktis, adab, pun ilmu praktis lainnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kurikulum pembelajaran di dayah. Ilmu fiqh yang berkembang pesat karena manusia berubah bersama dengan kebiasaan baru dan peristiwa baru menjadi fan keilmuan yang bukan hanya menuntut manusia pada pencapaian ketertiban ibadah, tetapi juga tidak kalah banyaknya pada bidang tata kelola muamalah yang luas.
Sebagai contoh, baru-baru ini Walhi Aceh melakukan kolaborasi dengan Lajnah Bahtsul Masail Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengkaji dan mengaji perspektif fiqh bagi isu tata ruang dan lingkungan. Sebuah dokumen yang kaya dengan referensi kitab kuning atau kitab turast telah dilahirkan dan telah pula diseminarkan. Muncul kesadaran baru bahwa dayah dengan tradisi akademisnya yang dipandang tradisional dapat memberikan sudut pandang yang kuat dan bertanggung jawab terhadap isu manusia modern dengan lingkunganya.
KKR Aceh juga pernah melakukan muzakarah Ilmiah dengan Lajnah Tastafi Aceh tentang isu kemanusiaan, pemidanaan dan pemaafan terkait dengan dugaan pelanggaran HAM pada masa konflik Aceh.
Tentu saja, ini hanya sebuah mukadimah untuk memanfaatkan rekognisi negara dan masyarakat terhadap tradisi akademis pesantren dan secara khusus dayah di Aceh.
Ke depan, keilmuan fiqh siyasah klasik tampaknya juga akan mengalami kontekstualisasi dalam wadah sistem politik modern. Sehingga tesis Wael Bahjah Halaq tentang impossible state dapat mulai terkoreksi. Karena tidak ada yang mustahil munculnya kembali sebuah negara dan pemerintahan yang berbasis pada nilai bukan hanya berbasis pada material semata. []
* Penulis Ketua PCNU Lhokseumawe, Alumni MUDI Samalanga, Presidium MD KAHMI Lhokseumawe.
I Facebook Muhammad Rizwan Haji Ali