27.4 C
Banda Aceh
BerandaKolomOpini: Jiwa Filantropis Pengelola Baitul Mal, Kunci Kesejahteraan Mustahik

Opini: Jiwa Filantropis Pengelola Baitul Mal, Kunci Kesejahteraan Mustahik

Oleh: LAILAN FAJRI SAIDINA *

Sebagai institusi keuangan Islam yang memiliki peran sentral dalam mengelola dana umat, Baitul Mal memegang amanah besar dalam isu kesejahteraan masyarakat akar rumput. Lebih dari sekadar tukang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, infak, dan sedekah (ZIS), Baitul Mal seharusnya menjadi motor penggerak kebaikan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut, maka kualitas Sumber Daya Insani pengelola Baitul Mal, baik di level unsur Dewan Pengawas, Badan Baitul Mal maupun Sekretariat menjadi kunci utamanya. Dan salah satu aspek krusial yang perlu ditumbuhkan dan diperkuat dalam diri setiap unsur Baitul Mal adalah jiwa filantropis.

Secara sederhana, Jiwa Filantropis adalah kecintaan terhadap sesama dan keinginan untuk berbuat kebaikan demi kesejahteraan orang lain tanpa mengharapkan imbalan materi (balas jasa) dari mustahik. Bagi pengelola Baitul Mal, jiwa ini bukan hanya sekadar nilai tambah, melainkan pondasi yang akan mempengaruhi setiap tindakan dan kebijakan yang dibuat Baitul Mal.

Mengapa demikian? Pertama, dengan jiwa filantropis, pengelola terdorong memiliki pemahaman mendalam terhadap esensi dari dana yang mereka kelola. Mereka tidak hanya melihat angka-angka dalam laporan keuangan, tetapi juga membayangkan dampak dana tersebut terhadap kehidupan para mustahik (penerima manfaat) dimasa depan. Dengan spirit filantropis Empati akan tumbuh, mendorong mereka untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan amanah, memastikan bahwa setiap rupiah yang disalurkan benar-benar tepat sasaran dan memberikan manfaat maksimal.

Personil Baitul Mal sebagai pengelola dana umat yang memiliki kepekaan terhadap kesulitan orang lain, termotivasi untuk mencari cara-cara inovatif dalam pendistribusian dana. Sehingga tidak terpaku pada metode konvensional semata, tetapi berupaya mengembangkan program-program yang lebih memberdayakan, berkelanjutan, dan mampu mengangkat derajat mustahik dari garis kemiskinan. Alih-alih memberikan bantuan konsumtif sesaat, pengelola Baitul Mal dengan jiwa filantropis akan berpikir tentang program pelatihan keterampilan, modal usaha mikro, atau beasiswa pendidikan yang dapat memberikan dampak jangka panjang.

Kedua, jiwa filantropis mampu menumbuhkan integritas dan akuntabilitas yang tinggi. Pengelola yang memiliki dorongan tulus untuk membantu sesama akan lebih berhati-hati dalam mengelola dana umat. Mereka sadar bahwa dana tersebut adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada negara (daerah), muzakki, tetapi juga kepada Allah SWT. Rasa takut untuk menyalahgunakan amanah tumbuh secara alami karena adanya kesadaran bahwa setiap tindakan mereka akan berdampak pada kesejahteraan orang lain.

Integritas tercermin dalam setiap proses pengelolaan Baitul Mal, mulai dari pengumpulan dana yang transparan, pencatatan yang akurat, hingga penyaluran yang tepat sasaran dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengelola dengan jiwa filantropis biasanya terbuka terhadap audit dan evaluasi, karena tujuan utama mereka adalah memastikan dana umat dikelola dengan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan bersama.

Ketiga, jiwa filantropis akan mendorong kolaborasi dan sinergi dengan berbagai pihak. Pengelola yang memiliki visi untuk memberdayakan masyarakat menyadari bahwa Baitul Mal tidak dapat bekerja sendiri. Mereka aktif menjalin kemitraan dengan organisasi masyarakat sipil, lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan pihak-pihak lain yang memiliki kepedulian yang sama, seperti Lazis swasta.

Kolaborasi ini dapat memperluas jangkauan program-program Baitul Mal dan meningkatkan efektivitasnya. Misalnya, Baitul Mal dapat bekerja sama dengan dinas kesehatan untuk program bantuan kesehatan bagi kaum dhuafa, atau dengan dinas pendidikan untuk program beasiswa bagi siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu. Kerjasama dengan Islamic Relief untuk bantuan pembangunan rumah layak, dan lainnya. Sinergi seperti ini mampu menciptakan ekosistem kebaikan yang lebih luas dan memberikan dampak yang lebih signifikan bagi masyarakat.

Keempat, virus jiwa filantropis akan menular dan menginspirasi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam gerakan kebaikan dan perbaikan. Ketika pengelola Baitul Mal menunjukkan ketulusan dan dedikasi dalam melayani umat, hal ini menjadi contoh baik bagi masyarakat. Masyarakat menjadi lebih percaya (trust) kepada Baitul Mal dan akhirnya tergerak untuk menyalurkan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) mereka melalui lembaga keistimewaan tersebut.

Selain itu, pengelola dengan jiwa filantropis juga aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya berzakat dan berinfak, serta menginspirasi mereka untuk turut berkontribusi dalam berbagai bentuk kebaikan lainnya. Dengan demikian, Baitul Mal tidak hanya menjadi pengelola dana, tetapi juga agen perubahan sosial yang mampu menggerakkan partisipasi aktif masyarakat dalam membangun kesejahteraan bersama di bumi rencong.

Pertanyaannya, bagaimana menumbuhkan jiwa filantropis di semua unsur pengelola Baitul Mal?
Salah satu cara efektif adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan. Pelatihan tidak hanya fokus pada aspek teknis (bimtek) pengelolaan keuangan, tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang tujuan syariah (maqashid syariah), terutama dalam konteks keadilan sosial dan pemberdayaan umat.

Studi kasus tentang keberhasilan program-program filantropi, kisah-kisah inspiratif tentang para dermawan, dan diskusi tentang etika pengelolaan dana umat dapat menjadi bagian penting dari kurikulum pengembangan SDI Baitul Mal. Selain itu, pengalaman langsung berinteraksi dengan para mustahik dapat menumbuhkan empati dan kepedulian.

Mengunjungi keluarga-keluarga mustahik yang membutuhkan bantuan, mendengarkan kisah perjuangan mereka, dan melihat langsung dampak positif dari bantuan yang diberikan akan memberikan perspektif yang berbeda bagi warga Baitul Mal. Pengalaman ini bisa menancapkan kesadaran bahwa di balik setiap angka yang kita kelola, ada kehidupan dan harapan orang-orang yang kurang beruntung yang bergantung pada kita.

Disamping itu, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif juga sangat penting. Lembaga Baitul Mal perlu membangun budaya kerja yang saling mendukung, kolaboratif, dan berorientasi pada pelayanan prima dan tulus. Kepemimpinan yang memiliki visi filantropis memberikan teladan dan menginspirasi seluruh anggota tim untuk bekerja dengan hati. Penghargaan dan pengakuan terhadap kinerja yang berorientasi pada dampak sosial juga dapat memotivasi para pengelola untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan mereka.

Lebih jauh lagi, evaluasi kinerja pengelola Baitul Mal tidak hanya terfokus pada aspek kepatuhan administrasi dan pengelolaan keuangan, tetapi juga pada dampak sosial yang dihasilkan. Indikator kinerja utama (IKU) dapat mencakup jumlah mustahik yang berhasil diberdayakan, peningkatan kualitas hidup penerima manfaat, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam program-program Baitul Mal. Dengan demikian pengelola tidak hanya sekadar menjadi pekerja penyalur dana, tetapi memastikan bahwa dana tersebut benar-benar memberikan perubahan positif bagi kehidupan masyarakat.

Aceh sebagai daerah bersyariat diyakini memiliki potensi besar untuk pengembangan filantropi Islam. Karena itu Baitul Mal memiliki peran strategis untuk menjadi lokomotif kebaikan dan perbaikan. Dengan menumbuhkan jiwa filantropis di kalangan pengelolanya, Baitul Mal akan semakin efektif dalam mengelola dana umat dan memberdayakan masyarakat. Hal ini tentu sejalan dengan visi Pemerintah Daerah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan.

Sebagai komisioner Baitul Mal, saya yakin salah satu investasi besar yang dapat kita lakukan adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani semua unsur Baitul Mal (pengelola) sebagai langkah penting re-branding kelembagaan Baitul Mal guna memperkuat trust publik. Dengan hati penuh empati, pikiran inovatif, dan tindakan yang amanah, kita pengelola Baitul Mal InsyaAllah mampu mengemban amanah besar ini dengan sebaik-baiknya, agar membawa manfaat sebesar-besarnya secara nyata bagi masyarakat Aceh khususnya. Baitul Mal berdaya, Masyarakat sejahtera, Muzakki bahagia. []

*) Penulis adalah penggagas LAZISKAHMI, Komisioner Baitul Mal Kota Lhokseumawe.

Sponsor

explore more