Penulis: Nyak Anzila Fajrina *
Belakangan ini, masyarakat Aceh dikejutkan oleh kabar empat pulau yang selama ini secara historis maupun hukum berada di wilayah Provinsi Aceh, yakni Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang secara administratif tiba-tiba justru tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penetapan tersebut diyakini dilakukan secara sepihak melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Selain dilakukan sepihak, yang lebih menyakitkan justru “siasat” Kepmen tersebut dinilai telah mengingkari fakta-fakta historis, sosiologis, adat budaya maupun pengingkaran terhadap Undang-Undang yang kedudukannya lebih tinggi yang telah menyepakati empat pulau tersebut sebagai bagian dari Provinsi Aceh.
Bagi sebagian besar masyarakat Aceh, khususnya warga di kawasan perbatasan seperti Aceh Singkil, hal ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga menyisakan luka kolektif yang mendalam. Tak banyak yang menyadari bahwa isu ini bukan sekedar isu politis dan soal batas administratif, tetapi juga menyangkut identitas, harga diri, dan rasa memiliki. Maka tak heran bila persoalan ini akan menimbulkan dampak psikologis yang tak boleh diremehkan.
Keterikatan masyarakat terhadap wilayah tempat tinggalnya bukanlah hal sepele. Dalam psikologi sosial, ada konsep yang disebut “Place Attachment”, sebuah ikatan emosional yang terbentuk antara individu atau kelompok dengan tempat tertentu. Ketika sebuah wilayah yang diyakini bagian dari identitas mereka “dirampas” begitu saja tanpa partisipasi atau persetujuan, maka muncul rasa kehilangan, kekhawatiran, bahkan kemarahan. Bagi Masyarakat di pulau-pulau tersebut, ini bukan hanya soal berpindah nama dalam dokumen administratif negara, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan budaya, adat istiadat, hingga mata pencaharian yang selama ini terintegrasi dengan wilayah Aceh.
Dampak psikologis lainnya adalah rasa “Powerlessness” atau ketidakberdayaan kolektif. Ketika masyarakat merasa tidak memiliki kontrol terhadap keputusan pemerintah yang menyangkut tanah leluhur mereka, akan tumbuh perasaan tak dianggap dan dipinggirkan oleh negara. Hal ini sejalan dengan pendapat Martin Seligman tentang “Learned Helplessness”, yaitu kondisi dimana individu atau kelompok yang terus menerus merasa gagal dalam mengubah situasi, kemudian akhirnya memilih menyerah dan tidak lagi berusaha. Jika dibiarkan, hal ini dapat merusak semangat partisipasi warga dalam pembangunan, merusak kepercayaan terhadap pemerintah, sekaligus memperkuat sentimen negatif antarwilayah yang mengarah pada konflik horizontal.
Dampak psikologis yang tak kalah penting adalah dampak terhadap identitas sosial. Tajfel dan Turner dalam “Social Identity Theory” menjelaskan bahwa sebagian besar identitas individu terbentuk dari kenaggotaannya di dalam suatu kelompok sosial tertentu, termasuk kelompok etnis, wilayah, atau budaya. Ketika batas wilayah berubah secara sepihak, maka tak dapat dipungkiri identitas sosial mereka akan terancam. Warga yang merasa dirinya Aceh secara tiba-tiba diklaim sebagai bagian dari Sumatera Utara dapat mengalami “Identity Confusion”, bahkan konflik identitas, terutama generasi muda yang dibesarkan dengan nilai-nilai budaya setempat.
Di sisi lain, dampak psikologis ini juga memperlihatkan betapa pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Keterbukaan informasi, konsultasi publik, dan pendekatan persuasif dari pemerintah sangat dibutuhkan agar masyarakat merasa dihargai. Jika tidak, maka rasa kecewa ini akan menjadi luka kolektif yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebijakan ini bahkan bisa menjadi pemantik luka lama konflik Aceh.
Sudah saatnya isu ini tidak hanya dilihat dari sisi potensi alam, aspek hukum dan administrasi semata, tetapi mendesak untuk ditinjau dari kacamata psikologi sosial. Pemerintah harus hadir bukan hanya sebagai pengatur wilayah, tetapi juga sebagai perawat batin Masyarakat. Karena bagi masyarakat kecil, tanah bukan sekedar ruang tinggal dan hidup, melainkan ruang makna. Dan ketika ruang makna itu diambil, maka yang hilang bukan hanya pulau, tetapi juga rasa yang telah mereka tanam di ruang makna tersebut. Save Aceh, Save Serambi Mekkah. []
* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry dan Pengurus PMII Komisariat UINAR.