Home News Ditengah ‘Kroeng Peng’ Otonomi Khusus Aceh Yang Melimpah, Siti Umaya Menanti Asa...

Ditengah ‘Kroeng Peng’ Otonomi Khusus Aceh Yang Melimpah, Siti Umaya Menanti Asa Rumah Dhuafa

0

Laporan: F. Saidina  I  Editor: Aan Miswar

JALANTENGAH.CO I ACEH UTARA – “Biarlah seluruh pulau pulau di Indonesia ini tenggelam kalau tidak bisa negeri ini mensejahterakan rakyatnya”, teriak Bung Hatta suatu ketika.

Ungkapan keprihatinan founding father dan Negarawan Bung Hatta ini menyiratkan betapa vitalnya peran negara untuk memastikan kesejahteraan setiap warga negaranya, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Kesejahteraan rakyat suatu negara atau daerah terkadang tidak selalu tentang banyaknya jumlah uang yang dimiliki negara maupun daerahnya, tapi tentang will dan nurani kerakyatan mereka yang mendapat amanah mengelola uang negara atau daerah.

Buktinya, meski provinsi Aceh sudah menerima hampir Rp.100 Triliun dana otsus (Otonomi Khusus) sejak 2006 silam, dengan jumlah uang fantastis yang bikin ngiler daerah lain di Indonesia, nyatanya sebagian besar rakyat Aceh masih jauh untuk bisa disebut sejahtera.

Padahal alokasi anggaran khusus (otsus) yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada provinsi Aceh ini bertujuan untuk mendukung pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Aceh, terutama dalam konteks pelaksanaan otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi tersebut.

Gambaran kemiskinan terekam jelas di kampung kampung, rumah rumah penduduk yang bisa disebut tak layak huni masih cukup mudah ditemukan. Pemandangan itu terlihat media jalantengah.co bersama tim LAZISKAHMI ketika berkeliling Aceh Utara dalam misi kemanusiaan beberapa hari menjelang Idul Fitri 1445 Hijriah.

Kondisi rumah Siti Umaya di gampong Blang Seurukuy, Syamtalira Bayu Aceh Utara (foto atas), dan Rumah janda Suryani di dusun bukit sandi Pulo Meuria, Geuredong Pase (foto bawah).

Diantara penduduk yang sempat kami temui dengan perasaan miris adalah Siti Umaya, warga gampong Blang Seurukuy kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara. Dalam rumah gubuk berukuran sekitar 4×5 meter yang sudah miring (hampir roboh) Ia terpaksa tinggal bersama suami dan empat anaknya yang masih usia sekolah dasar.

“Lihatlah sendiri, dari segi kesehatan maupun kemanusiaan tidak layak enam manusia tinggal di rumah seperti ini”, sebut keuchik Junaidi didampingi sekdes Apani dengan nada prihatin sekaligus menyiratkan kekesalan kepada pemerintah daerah.

Menurut Junaidi, sebagai pimpinan gampong dirinya sudah beberapa tahun terakhir berjuang ke sejumlah pihak terkait, seperti Baitul Mal Aceh Utara, Dinas PUPR maupun jaringan lainnya di provinsi untuk mendapatkan bantuan rumah layak bagi warganya itu, namun hingga saat ini belum juga ada realisasi.

Junaidi mensinyalir ada konspirasi jahat dalam proses mendapatkan bantuan rumah layak dari negara bagi warga dhuafa, bahkan beredar kabar di Baitul Mal Aceh Utara untuk bisa dapat rumah dhuafa harus ada setoran ‘pelicin’ terlebih dahulu atau harus mendapatkan rekomendasi orang-orang tertentu di lingkaran kekuasaan.

Di hari yang sama tim Laziskahmi dan jalantengah.co juga singgah di rumah tak layak huni lainnya di dusun buket sandi gampong Pulo Meuria, kecamatan Geuredong Pase. Di gubuk berukuran 3×4 meter dengan lantai tanah ini seorang janda miskin yang ditinggal mati suaminya, Suryani, hidup bersama tiga anak yatimnya.

Rasyidin, seorang jurnalis yang berempati dengan nasib Suryani dan ketiga anak yatimnya itu turut mendampingi tim Laziskahmi untuk melihat langsung kondisi keluarga ini di pedalaman Aceh Utara.

Melalui profesinya pula Rasyidin ikut memberitakan mirisnya kehidupan Suryani dengan harapan akan terketuk hati orang-orang berada untuk membantu sesama maupun tergeraknya pemerintah daerah untuk membangun rumah layak setelah membaca berita yang ditulisnya.

Usai tim Laziskahmi mempublikasi ke sosial media hasil adventure kemanusiaan ini, salah seorang pengurus Majelis Nasional KAHMI di Jakarta, Budhi S. Kesuma, dengan geram mempertanyakan dimana peran pemerintah daerah selama ini.

“Bupati dan Penjabat Bupati Aceh Utara tak tahu warganya seperti ini? Astaghfirullah, terkutuk pemimpin seperti itu,” tulis alumni Unsyiah ini lewat pesan whatapp.

Begitulah kenyataannya, berlimpahnya dana Otonomi khusus sebagai rezeki nomplok pemerintah Aceh dalam kurun waktu 19 tahun ini belum berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh umumnya, selain hanya untuk menambah kekayaan kalangan tertentu yang memiliki akses langsung dengan input-proses-output dana Otonomi Khusus maupun sumber keuangan daerah lainnya.

Untuk diketahui, Aceh mendapat dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak tahun 2006 sebagai bagian dari upaya pemulihan pasca konflik bersenjata yang berkepanjangan di wilayah tersebut, untuk mendukung pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di provinsi paling barat Indonesia. [*]

Exit mobile version