Home Kampusiana Merdeka Belajar, Mungkinkah Terwujud?

Merdeka Belajar, Mungkinkah Terwujud?

0
Dr SRI RAHMI MA, Dosen UIN Ar Raniry, Ketua Asosiasi Prodi Manajemen Pendidikan Islam se-Indonesia

SEJAK merdeka belajar diluncurkan Menteri Nadiem Makarim, lembaga pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi terus berbenah.

Mulai dari merevisi kurikulum yang ada, sampai pada penyiapan sumber daya manusia seperti guru dan dosen agar siap menyukseskan merdeka belajar yang bebas dari berbagai tekanan kepentingan.

Karena pada prinsipnya, jika dunia pendidikan masih dipenuhi dengan berbagai kepentingan, maka mimpi rasanya bisa mewujudkan merdeka belajar bagi peserta didik kita.

Hakikatnya, kemerdekaan yang hakiki dalam dunia pendidikan akan mudah kita raih jika pemerintah membebaskan dunia pendidikan dari berbagai kepentingan apalagi kepentingan yang bernuansa politik.

Menjauhkan intervensi-intervensi yang dapat melemahkan posisi lembaga pendidikan menjadi sebuah keniscayaan.

Biarkan saja lembaga pendidikan menjadi tempat yang paling bersih dan bebas kepentingan apa pun sehingga lembaga pendidikan benar-benar mampu menjadi wadah pencetak generasi penerus bangsa.

Jangan jadikan lembaga pendidikan sebagai sarana untuk menitipkan berbagai kepentingan.

Miris rasanya jika melihat lembaga pendidikan yang diintervensi oleh “oknum” yang tidak bertanggungjawab, mulai dari penerimaan peserta didik baru, proses belajar mengajar, sampai saat peserta didik menyelesaikan pendidikannya tidak luput dari tekanan, yang jelas-jelas tidak membuat merdeka pengelola lembaga pendidikan.

Lalu, jika pengelola tertekan, mangkinkah dia bisa mengelola merdeka belajar bagi peserta didiknya? Filosofinya, merdeka belajar harus fokus pada asas kemerdekaan dalam menerapkan materi yang esensial dan fleksibel sesuai dengan minat, kebutuhan, dan karakteristik dari peserta didik, serta larangan adanya paksaan kepada peserta didik karena akan mematikan jiwa merdeka serta kreativitas yang ada pada mereka.

Namun, untuk mewujudkan ini semua, banyak komponen yang harus dimerdekakan terlebih dahulu agar merdeka belajar bisa terlaksana sesuai dengan harapan.

Jika ingin bicara kesuksesan sebuah pendidikan, maka tidak dapat dipisahkan dari peran penting seluruh elemen yang ada dalam lingkungan pendidikan.

Merdeka belajar merupakan kebijakan yang bertujuan memberikan kemerdekaan dalam berpikir bagi para guru dan peserta didik tanpa dibebani oleh sistem rangking/nilai.

Dalam program ini, guru didorong mengubah sistem pembelajarannya, sehingga suasana belajar menjadi nyaman karena hakikatnya belajar dapat dilakukan di mana saja termasuk di luar kelas (outing class).

Jika sebagian orang menganggap bahwa perangkingan/ nilai merupakan tolak ukur keberhasilan sebuah pembelajaran, maka terpikirkah oleh kita bagaimana dengan peserta didik yang merasa minder dan berujung pada frustrasi karena tidak mampu mencapai rangking/nilai yang diharapkan? Siapa akan bertanggungjawab terhadap mental anak yang terlanjur frustrasi? Padahal, ada banyak cara dapat dilakukan untuk mengapresiasi peserta didik yang memiliki kemampuan lebih di atas temannya tanpa perlu diukur dengan nilai, karena pada dasarnya nilai masih bisa dimanipulasi.

Bentuk apresiasi dapat dilakukan misalnya dengan menjadikan peserta didik yang memiliki kemampuan lebih sebagai partner dan berperan mendampingi temannya yang masih membutuhkan bantuan.

Bagi peserta didik, merdeka belajar dapat membentuk dirinya menjadi berani, mandiri, cerdas, pintar dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, siap kerja, kompeten serta berbudi pekerti luhur.

Hal ini akan melahirkan suasana belajar yang menyenangkan tanpa dibebani dengan penyampaian skor/nilai target tertentu.

Sehingga guru juga akan terbebas dari tekanan berbagai pihak dalam penentuan rangking/ peringkat kelas.

Terlebih lagi, tidak sedikit pendidik yang belum bisa memerdekakan peserta didik dalam proses pembelajaran.

Pendidik masih menyamaratakan kemampuan anak dalam kelas, sehingga metode mengajar dalam kelas pun disamaratakan.

Padahal pada hakikatnya setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dan menghendaki metode pembelajaran juga berbeda.

Sudah semestinya setiap pendidik memahami perbedaan karakter setiap anak dan menyesuaikan metode pembelajaran yang dapat mewakili perbedaan tersebut.

Namun, di sisi lain, ada dilema dirasakan oleh pendidik dimana mereka sangat terikat dengan kontrak baku yang tertuang dalam rencana pembelajaran dan harus diselesaikan oleh seorang pendidik.

Efeknya maka praktik pengajaran selama ini lebih sering membelenggu siswa dan membuat mereka tertekan dan tidak merdeka.

Proses pembelajaran yang terselenggara lebih didominasi guru dengan metode pembelajaran yang monoton, seperti ceramah, hafalan, dan lain sebagainya.

Peserta didik seumpama plastisin yang bisa dibentuk semau guru, hal ini mengakibatkan anak tidak berproses menjadi diri mereka sendiri, melainkan sebagai objek.

Proses belajar mengajar masih dibatasi ruang kelas, sehingga terkesan kaku dan mengakibatkan gerak anak terbatas dalam menerima pelajaran.

Konsep merdeka belajar harus mengarah pada tumbuh kembang kodrat siswa, sehingga batin, pikiran, dan tenaganya tumbuh merdeka.

Tanpa prasyarat demikian, maka merdeka belajar hanya akan memproduksi jargon semata.

Sebenarnya, jika ingin mengibaratkan, maka pendidik itu seumpama petani, dan peserta didik seperti tanaman padi.

Petani hanya mampu menuntun tumbuhnya padi dengan menyuburkan tanah, memberi pupuk, membasmi hama yang mengganggu dan lain sebagainya.

Meskipun petani memiliki metode untuk membuat padi berkualitas, namun petani tidak dapat mengubah kodratnya padi.

Petani tidak akan bisa mengharapkan padi yang dirawatnya tumbuh menjadi kedelai.

Selain itu, petani juga tidak dapat merawat tanaman padi dengan menggunakan cara sebagaimana merawat tanaman kedelai.

Begitu pun seorang pendidik, dengan ilmu dan profesinya berkewajiban menuntun dan mengarahkan peserta didik sesuai dengan minat dan bakat mereka, tidak akan pernah bisa memaksakan diri mengikuti kemauan dan kehendak dari pendidik.

Agar kesuksesan implementasi merdeka belajar menjadi maksimal, maka koordinasi dan komunikasi struktural menjadi penting.

Keberhasilan implementasi merdeka belajar perlu kerja sama semua pihak.

Semua pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari keluarga, organisasi sektor pendidikan, sekolah hingga pemerintah harus turut ambil bagian dalam menyukseskan program merdeka belajar.

Selain kerja keras dari guru, peran serta orang tua dan keluarga, civitas sekolah termasuk pengawas, stakeholder menjadi support system penerapan merdeka belajar.

Termasuk keterlibatan jajaran struktural yang membidangi pendidikan mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai staf yang ada di lembaga pendidikan.

Pemerintah secara nyata harus memberi support dan melengkapi segala kebutuhan lembaga pendidikan dalam perwujudan merdeka belajar.

Negara harus menunjukkan kecintaannya kepada pendidik dengan menjamin kesejahteraan mereka.

Jangan permainkan jerih payah mereka dengan alasan apapun.

Alokasikan dana dengan serius bagi pengembangan sarana prasarana pendidikan.

Permudah sistem administrasi bagi seluruh lembaga pendidikan namun dengan tetap berpedoman pada konsep mutu.

Bebaskan dunia Pendidikan dari regulasi-regulasi yang malah menjadikan dunia pendidikan layaknya kelinci percobaan.

Pemerintah hendaknya mengimplementasikan hakikat kemerdekaan yang sesungguhnya ke dalam hak-hak rakyat dengan menyelesaikan seluruh permasalahan pendidikan sebagaimana tergambar di atas.

Negara ini adalah milik kita bersama, bukan milik segelintir orang semata.

Negara ini merupakan warisan dari para pejuang yang samasama harus kita jaga dan pendidikan menjadi ujung tombak agar negara diperhitungkan oleh dunia.

Wallahu’alambissawab.(srirahmi77@ gmail.com)

Oleh : Dr SRI RAHMI MA, Dosen UIN Ar Raniry, Ketua Asosiasi Prodi Manajemen Pendidikan Islam se-Indonesia.

Sumber : Serambi Indonesia

Exit mobile version